Pada zaman dahulu, di tengah-tengah hutan di Mentok hiduplah seorang
perempuan tua. Ia mempunyai seorang anak yang bernama Dempu Awang.
Kehidupan mereka sangat sederhana. Mereka hidup dari hasil ladang yang
ditanami ubi, keladi, dan lain-lain.
Karena hasil ladang yang mereka peroleh sedikit sekali, Dempu Awang
bermaksud merantau mencari pekerjaan yang lebih baik. Ia pun
mengemukakan maksud itu kepada ibunya. Ternyata sang ibu mengizinkan
Dempu Awang merantau.
Beberapa hari kemudian, Dempu Awang pamit pada ibunya untuk merantau.
Ia menumpang perahu layar. Karena tidak mempunyai uang untuk membayar
ongkos naik perahu, Dempu Awang bersedia menjadi anak buah perahu itu.
Sepeninggal Dempu Awang, ibunya tinggal seorang diri di tengah hutan.
Ia selalu berdoa agar anaknya selamat dan mendapat pekerjaan. Tak
terasa sepuluh tahun telah lewat. Berkat doa ibunya, sekarang Dempu
Awang telah menjadi seorang yang kaya raya. Namun, ia tidak pernah
memberikan kabar kepada ibunya.
Sementara itu, di rantau, Dempu Awang telah berkeluarga. ia mempunya istri yang cantik dan anak orang kaya.
Suatu hari, Dempu Awang bermaksud pulang ke kampung halamannya untuk
menemui ibunya. Berangkatlah ia bersama istrinya ke Mentok dengan naik
perahu layar miliknya sendiri. Tak berapa lama, sampailah perahu layar
Dempu Awang di perairan kampung halamannya.
Ketika melihat ada perahu layar berlabuh, nelayan-nelayan yang sedang
berada di pantai perairan itu mengayuhkan sampan-sampan mereka ke
perahu itu. Ketika sudah dekat, mereka melihat seorang anak muda bersama
seorang perempuan berdiri di pinggir geladak. Anak muda itu memberi
isyarat agar para nelayan itu ke perahunya.
Beberapa nelayan naik ke perahu. Anak muda itu segera menanyakan
keadaan ibunya. Para nelayan itu mengatakan bahwa wanita tua itu masih
hidup dan berada seorang diri di tengah hutan.
Mendengar itu, Dempu Awang minta tolong kepada nelayan-nelayan itu
agar membawa ibunya ke perahu. Dempu Awang ingin memastikan apakah
wanita itu ibunya atau orang lain yang mengaku ibunya.
Wanita tua itu dijemput oleh para nelayan dan dibawa ke perahu.
Ketika Dempu Awang melihat wanita tua renta itu menaiki tangga perahu,
cepat-cepat disuruhnya pelayan untuk mengusir wanita tua itu. Dempu
Awang malu mengakui ibunya yang sudah tua renta dan berpakaian
compang-camping di hadpan istrinya.
“Jangan suruh dia naik ke perahu! Dia bukan ibu saya. Dia petani yang tidak ku kenal,” kata Dempu Awang.
“Dia adalah ibunda Tuan,” kata para nelayan. Sementara itu, di
pinggir perahu wanita tua itu berkata, “Benar, saya adalah ibumu yang
kau tinggalkan di hutan beberapa puluh tahun yang lalu. tanda goresan di
keningmu bekas luka terjatuh itu adalah cirinya.”
Mendengar perkataan wanita itu, Dempu Awang menjadi marah dan tidak
memberi kesempatan kepada perempuan tua itu untuk naik ke tangga
perahunya. Melihat kejadian itu, istrinya mengatakan “Terimalah ibumu.
Jangan menjadi anak durhaka dan tak usah malu.”
“Jangan suruh dia naik ke perahu! Dia bukan ibu saya. Dia…,” kata Dempu Awang.
Tanpa mempedulikan kata-kata istrinya, Dempu Awang mendorong
perempuan tua itu hingga terjatuh dari tangga perahu ke dalam sampan
yang membawanya tadi. Para nelayan sangat sedih melihat keadaan wanita
itu, lalu mengayunkan sampannya pulang.
Di dalam sampan, wanita tua itu berlutut sambil mengangkat kedua
belah tangannya ke atas. Ia mohon kepada Yang Maha Kuasa agar memberikan
balasan yang setimpal kepada Dempu Awang. Dempu Awang telah menjadi
anak durhaka, tidak mengakui ibu kandungnya.
Sewaktu Dempu Awang akan berlayar meninggalkan perairan kampung
halamannya, tiba-tiba turun angin ribut serta hujan lebat ditambah
guntur dan petir. Saat itu juga, perahu Dempu Awang pecah terbelah dua,
lalu karam. Setelah angin ribut dan hujan reda, ternyata perahu bersama
Dempu Awang telah menjadi batu, sedangkan istrinya menjadi kera putih.
Menurut kepercayaan orang-orang di Mentok, batu itu sampai sekrang
masih ada dan terletak 3,5km di sebelah utara Mentok. Batu-batu itu
berukuran lebih kurang 8 x 6m dan tingginya 5m.
Pada zaman dahulu, di samping batu ini terdapat kantor pemerintahan
serta tempat orang-orang kampung di sekitar itu bermusyawarah. Tempat
yang demikian ini disebut “balai” sehingga batu itu dinamakan “batu
balai”. Sampai sekarang batu balai masih terpelihara dengan baik di
mentok.
http://fauzierachman20.wordpress.com/2013/10/06/legenda-batu-balai-cerita-rakyat-mentok-bangka-belitung/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar